Jaten Law



Dongeng The Little Mermaid, Hans Christian Andersen dan Jaten Law

 


Saya sangat tertarik saat menonton film-film Disney, apalagi yang berhubungan dengan putri kerajaan. Bagian yang paling menarik adalah proses sang putri yang akhirnya mendapatkan kebahagiaan selamanya, pastinya dengan pangeran ‘charming’ yang akan mengganggu tidur setiap anak remaja jika mereka adalah realita. Para putri menunggu untuk diselamatkan atau ditemukan oleh pangeran kemudian mereka saling menyatakan cinta dan BOOM mereka hidup bahagia selamanya.
Diantara cerita tersebut ada satu cerita putri yang paling menarik perhatian saya yaitu Ariel. Putri duyung ‘remaja’ yang mengharapkan cintanya berbalas dari sang pangeran yang ia selamatkan saat tenggelam. Mengapa saya tertarik dengan cerita Ariel? Saya tertarik dengan cerita ini karena berusaha membuat imajinasi anak membentang dan kemudian menjadi ‘percaya’ kalau putri duyung itu nyata. Kemudian bagian lain yang menarik adalah si putri duyung dengan keberaniannya mau mengejar Pangeran Erik dan berusaha untuk hidup bahagia selamanya. Ariel menukar suaranya yang indah dengan sepasang kaki kepada penyihir laut yaitu Ursula. Ursula yang dengan senang hati menerima suara Ariel kemudian berusaha mati-matian agar Ariel tidak bisa bersatu dengan Pangeran Erik. Namun takdir berkata lain, usaha Ursula gagal dan akhirnya Ariel dapat hidup bahagia dengan Pangeran Erik. Happily Ever After.
Bagaimana dengan cerita versi Hans Christian Andersen sebagai pengarang asli The Little Mermaid? Jangan sekali-sekali mengharapkan Pangeran Erik dan Ariel menikah atau hidup bahagia selamanya. Di dalam cerita versi asli Hans Christian Andersen, Ariel (nama putri duyung yang diadaptasi oleh Disney), tidak berhasil hidup bahagia dengan pangeran yang ia cintai tetapi malah mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Terlalu tragis bukan untuk cerita anak-anak? Mungkin jika waktu kecil kita langsung dikenalkan dengan cerita The Little Mermaid versi asli kita akan menjadi anak yang sangat sedih dan tidak mau berjuang mendapatkan sesuatu yang kita inginkan. Namun bukan itu yang mau saya bahas melalui tulisan ini. Hal yang akan dibahas melalui tulisan ini adalah korelasi antara cerita The Little Mermaid versi Hans Christian Andersen dan Jaten Law yang ada dalam mindset orang Denmark.
Tidak banyak atau bahkan hanya sedikit diantara kita yang mengetahui apa yang dimaksud dengan Jaten Law. Kemudian tidak banyak juga diantara kita yang mengetahui Denmark, tetapi jika muncul nama Hans Christian Andersen, pasti beberapa diantara kita bisa langsung mengatakan bahwa ia adalah orang Denmark (Danes). Orang-orang Denmark atau yang biasa disebut Danes dalam bahasa inggris memiliki cara pikir yang disebut sebagai Jaten Law. Jaten Law ini bisa dikatakan sebagai budaya berpikir atau bahkan hukum yang mempengaruhi perilaku dari orang-orang Denmark.
Saya membaca mengenai Jaten Law pertama kali dalam buku The Almost Nearly Perfect People karangan Michael Booth (2014). Di dalam bukunya, Booth mencoba mendeskripsikan life style dari orang-orang Eropa Utara yang jarang sekali dibahas dalam dunia pendidikan. Booth mendeskripsikan mengenai kehidupan dari orang-orang Scandinavia, yaitu Denmark, Eslandia, Norwegia, Finlandia, dan Swedia, baik dari sisi data statistik maupun emic point of view dari orang-orang Eropa Utara tersebut. Mari kita tinggalkan pembahasan mengenai buku Michael Booth dan berfokus pada Jaten Law. Dalam bukunya, Michael Booth menuliskan pokok Jaten Law layaknya sepuluh perintah Allah yang harus ditaati oleh umat Israel. Berikut isi dari Jaten Law yang saya kutip dari Michael Booth.

You shall not believe that you are someone.

(Kamu tidak boleh menganggap dirimu seseorang)

You shall not believe that you are as good as we are.

(Kamu tidak boleh menganggap dirimu sebaik kami/orang lain)

You shall not believe that you are any wiser than we are.

(Kamu tidak boleh menganggap dirimu lebih bijak dari kami/orang lain)

You shall never indulge in the conceit of imagining that you are better than we are.

(Kamu tidak boleh berimajinasi dengan kebanggaan kalau kamu lebih baik dari kami/ orang lain)

You shall not believe that you know more than we do.

(Kamu tidak boleh mengganggap dirimu lebih tahu daripada kami/ orang lain)

You shall not believe that you are more important than we are.

(Kamu tidak boleh mengganggap dirimu lebih penting dari yang lain)

You shall not believe that you are going to amount to anything.

(Kamu tidak boleh membuat perhitungan terhadap apapun)

You shall not laugh at us.

(Kamu tidak boleh mentertawakan kami/ orang lain)

You shall not believe that anyone cares about you.

(Kamu tidak boleh menganggap bahwa setiap orang peduli padamu)

You shall not believe that you can teach us anything.

(Kamu tidak boleh menganggap bahwa kamu dapat mengajarkan kami apa pun)


Terjemahan di atas adalah hasil interpretasi saya terhadap Jaten Law dan hal pertama yang terlintas setelah membaca Jaten Law adalah selfless-ness. Selfless-ness yang saya maksudkan adalah nilai yang tidak egois namun juga tidak membagikan pertolongan bagi masyarakat di sekitar kita. Jika kita melihat poin-poin yang ada dalam Jaten Law, kita bisa dengan jelas membaca bahwa kita tidak boleh mengganggap diri kita lebih bijak atau lebih tahu (pintar) dari yang lain. Menurut saya, nilai yang terkandung dalam poin-poin Jaten Law sebenarnya bukan nilai yang buruk. Sayangnya, ego yang ditekan berlebihan pastinya tidak akan berakibat baik. Hal itu pula yang Booth coba jelaskan dalam bukunya. Orang-orang Denmark sangat terikat dengan Jaten Law sehingga menciptakan komunitas yang tidak berkembang. Jaten Law jelas telah menekan ego orang-orang Denmark dan kemudian memperparah keadaan mereka. Orang-orang Denmark menjadi orang yang tidak memiliki pengharapan dan tidak mau berinovasi (Jelas! Kamu jangan menganggap dirimu lebih pintar dari yang lain).
Kemudian apa korelasi antara Jaten Law dan kisah original The Little Mermaid versi Hans Christian Andersen? Ketika saya membaca Jaten Law, saya langsung teringat dengan kisah si putri duyung yang versi asli. Dulu saya menganggap cerita asli yang dikarang oleh Andersen begitu mengerikan untuk anak-anak. Si putri duyung meninggal dengan cara bunuh diri karena tidak bisa membunuh pangeran yang ia cintai agar bisa kembali ke dunia laut. Kisah yang sangat miris dibandingkan dengan kisah cinta Ariel dan Pangeran Erik versi Disney, yang walaupun usaha Ursula begitu besar untuk memisahkan Ariel dan Erik namun tetap dewi fortuna menyelamatkan mereka. Belum lagi dikisahkan bahwa Ariel adalah anak dari Triton, cucu dari Poseidon. Kisah versi Disney sangat menyenangkan dibandingkan versi Andersen.
Lalu mengapa Andersen memilih cerita yang terkesan ‘gloomy’ dibandingkan dengan kisah ringan dan menyenangkan versi Disney? Hanya Andersen yang tahu jawabannya. Namun, setelah membaca dan meresapi makna Jaten Law, saya bisa melihat adanya pengaruh Jaten Law dalam cerita tersebut. Andersen masih dipengaruhi dengan mindset asli orang Denmark dan mengutamakan sisi selfless-ness dalam cerita tersebut. Apakah cerita Andersen tidak menarik dibandingkan dengan cerita versi Disney? Saya tidak bisa mengatakan seperti itu. Menurut saya kisah yang ditawarkan Andersen merupakan cerminan gaya hidup masyarakat Denmark yang menganut Jaten Law dan baik bagi orang Denmark.
Andersen membawakan warna imajinasi dalam cerita The Little Mermaid, tetapi kemudian Andersen juga mengingatkan kembali mengenai nilai-nilai Jaten Law yang berada di dalam masyarakat. Tentunya Andersen mennyiapkan cerita ini untuk anak-anak di Denmark dan tidak akan menyangka bahwa akan sampai kepada masyarakat di berbagai belahan dunia. Imajinasi yang dikembangkan oleh Andersen memberikan warna lain terhadap pemikiran orang Denmark. Saya melihat bahwa Andersen mencoba menaikkan imajinasi dan harapannya sampai ke tingkat tinggi, dimana ada makhluk laut yang ingin menjadi manusia dan ingin menikah dengan manusia, tetapi kemudian ada Jaten Law dalam masyarakat yang mengingatkan kembali mengenai batasan-batasan yang harus dipatuhi. Memang secara eksplisit tidak ada tertulis mengenai Jaten Law dalam cerita The Little Mermaid, tetapi jika kita mengaitkan mindset ini maka kita tidak terlalu merasakan sisi gloomy dari cerita tersebut.
Jadi, apakah cerita versi asli The Little Mermaid tidak baik untuk anak-anak? Jawabannya adalah tergantung dimana kita menempatkan mindset kita. Tentunya cerita ini mudah diterima (bukan berarti baik) bagi anak-anak yang ada di Denmark. Daerah lain yang tidak memiliki Jaten Law mungkin sebaiknya menginterpretasikan cerita asli The Little Mermaid untuk menanamkan sifat rendah hati untuk anak-anak. Kemudian yang perlu dijelaskan lagi adalah jangan sampai kehilangan harapan untuk segala sesuatu yang kita cita-citakan.
Saya pribadi tidak melihat cerita versi Disney lebih baik dari versi asli. Versi Disney mengajarkan keegoisan dan harapan yang tinggi untuk hidup bahagia, ada nilai baik dan buruk dalam versi ini. Anak-anak yang terlalu menyerap versi ini kemungkinan bisa saja menjadi anak yang egois dan melakukan apapun untuk mewujudkan impiannya. Namun ada sisi dimana Ariel berjuang dan memiliki harapan akan hidupnya sendiri. Berdiri independen, menentukan sikap untuk apa yang ia anggap baik bagi dan oleh dirinya sendiri.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah baikkah jika memiliki mindset Jaten Law atau seperti versi Disney? Pilihlah dengan bijak.

Referensi
Andersen, Hans Christian
1837                       The Little Mermaid. Fairytales Told for Children. Copenhagen: C.A Rietzel
Booth, Michael
2014                       The Almost Nearly Perfect People. London: Jonathan Cape


Comments

Popular Posts